Membaca Pramoedya seolah membaca sejarah. Terlepas itu karya maupun sosoknya, memperbincangkan Pram adalah memperbincangkan sejarah itu tersendiri. Dalam sebuah kesempatan Pram mengatakan, “Saya menulis dengan tujuan membangun bangsa dan membentuk karakternya. Semua jiwa dalam tulisan saya dilatarbelakangi keinginan itu,” tukasnya. Karya-karyanya meski bertamasya dalam dunia prosa, tak dapat dipungkiri bahwa Pram berangkat dari fakta-fakta sejarah. Ia menyelam dalam data-data yang bertebaran di buminya Indonesia, yang terkadang luput dari perhatian sejarawan sekalipun.
Tetralogi misalnya, ia bangun dari tetesan elemen sejarah hidup R.M. Tirto Adhi Soerjo (1880-1918), yang pada kalangan terbatas hanya dianggap sebagai Tokoh Pers Indonesia. Riset dan pembongkaran sejarah yang dilakukan Pram justru membuka jendela yang lebih luas. Tirto yang menjelma sebagai Minke dalam Tetralogi, Pram sajikan dalam baki prosa.
Tirtolah jurnalis pribumi pertama yang menggunakan bahasa Melayu lingua-franca, sebagai “bahasa bangsa-bangsa yang terperintah”, dan dengan sadar serta aktif ia gunakan sebagai bahasa perjuangan dan bahasa pemersatu. Dialah pendiri organisasi modern pribumi pertama: Sarikat Prijaji, kemudian Sarikat Dagang Islamijah yang berkembang menjadi Sarekat Islam. Dia juga yang pertama menggunakan pers sebagai senjata pembela keadilan bagi si kecil dan dia pula sang perintis kewiraswastaan pribumi dan banyak lagi lembaga-lembaga baru lainnya; kesemuanya ditanganinya dengan ekstensitas yang kobar di tengah-tengah cengkeram kolonialisme yang sedang sampai pada puncak kejayaannya.
Dialah tokoh inisiator kebangkitan kesadaran nasional, penganjur bahasa persatuan, demikian pun pemrakarsa emansipasi wanita, namun dia pulalah menjadi perintis kebangkitan nasional dari patriot sebangsa yang dilupakan dan terlupakan. Sesuatu yang dipahami kalangan terbatas sekalipun sebagai tokoh yang dikenal tak lebih sekadar permukaannya belaka. Karena bukan suatu kebetulan, Tirto, oleh pejabat-pejabat kolonial secara sistematis memang didiskreditkan dan digelapkan dalam penulisan sejarah, sehingga orang yang demikian besar peranannya dalam penggerakan kesadaran bangsa bisa menjadi seorang non-person dalam sejarah kebangkitan nasional bangsanya sendiri.
Semua itu oleh Pram dihidupkan kembali dalam roman yang legit getir namun ketat dengan sumber sejarah.
Onghokham, sejarawan Indonesia, mengakui, kira-kira pada permulaan 1960-an, ia melihat beberapa mahasiswa dan mahasiswi sedang tekun mengumpulkan bahan-bahan dari koran-koran lama yang terbit pada sekitar permulaan abad ke-XX di Perpustakaan Museum Pusat di Jalan Merdeka Barat No. 12 Jakarta.
Ketika Onghokham bertanya gerangan apa yang sedang mereka kerjakan, mereka menjawab bahwa dosen sejarah mereka di Universitas Res Publica (sekarang Trisakti), Pramoedya Ananta Toer, menyuruh mereka mencatat peristiwa-peristiwa politik, sosial, dan kondisi rakyat pada zaman tersebut.
Dari catatan-catatatan koran lama inilah, Pramoedya menyusun kuliah-kuliahnya tentang zaman yang kita kenal sebagai zaman “kebangkitan nasional”. Secara konvensional dalam penulisan sejarah Indonesia, suatu jaman yang dilambangkan dengan berdirinya Budi Utomo (1908) yang diberi nama “Kebangkitan Nasional”.
Bahan kuliah Pramoedya tersebut pernah terbit dalam bentuk stensil, dan untungnya diberikan pada beberapa sarjana asing, antara lain Dr. Ruth McVey dan Harry J. Benda sehingga tersimpan di beberapa perpustakaan universitas di Amerika Serikat seperti Yale University dan Cornell University. Onghokham sendiri ternyata masih sempat memakainya ketika menyusun desertasi di Universitas Yale. (jauh setelah itu, Pramoedya sendiri rupanya tidak memiliki lagi kopi dari kuliah-kuliah tersebut).
Bahan-bahan yang dicatat oleh para mahasiswa, dan dipakai sebagai bahan-bahan kuliah, kemudian juga dipakai oleh Pramoedya untuk menulis salah satu karya terbesarnya, Tetralogi, tentang zaman Kebangkitan Nasional. Dalam karya-karyanya tersebut, Pramoedya berdialog secara intensif dengan sejarah Kebangkitan Nasional, suatu zaman dalam penindasan kolonial yang juga melahirkan orang Indonesia sebagai warga suatu bangsa.
“Saya ini SMP saja tidak selesai. Bagaimana mungkin mengajar kuliah?” kenang Pramoedya saat diminta mengajar kelas di Universitas Res Publica. “Ya dari bahan-bahan yang dikumpulkan mahasiswa itu, lahirlah Tetralogi. Ya itu berkat dosen gadungan!!” ujarnya terbahak.
Di sini nampak, studi sejarah yang dilakukan Pram merupakan fondasi awal dari gunung cerita yang hendak dibangunnya. Tokoh-tokohnya nyaris nyata, ada, dan tercatat dalam sejarah. Tokoh baik itu penulis maupun karyanya berseliweran dalam naskah fiksinya. Sementara kita sadar Student Hijo karya Marco Kartodikromo yang pertama kali terbit tahun 1918 bukan merupakan fantasi. Juga Pangemanann, G. Francis, serta H. Kommer, lalu-lalang dalam Tetralogi. Sesuatu yang dapat kita temui dalam Tempo Doeloe, 1982.
Pencatatan yang terhitung pelik barangkali apa yang disajikan Pram dalam bab-bab awal Rumah Kaca (1988). Dirawikan bagaimana tahun 1912 merupakan tahun terberat bagi pribadi Gubernur Jendral Indenburg, pengganti Van Heutsz. Penutur cerita berbalik arah, bukan lagi Minke, tapi Pangemanann (dengan dobel n), seorang pejabat Gubermen. Kata ganti orang pertama (Minke) sebagai ‘aku’, sudah berganti menjadi orang kedua, ‘dia’.
Pangemanan oleh atasannya, Komisaris Besar Donald Nicolson, ditugasi membacai koran dan majalah terbitan Hindia, membikin interpiu, mempelajari dokumen, serta menyusun naskah kerja, yang kesemuanya semata-mata untuk mengawasi gerak-gerik timbulnya kesadaran tentang nasionalisme di kalangan inlander. Dan Minke, jelas merupakan tokoh terdepan serta yang paling berpengaruh dalam hal ini.
Dari mana Pram mendapatkan variabel cerita seperti itu, sehingga saat kita membaca Tetralogi, yang ada dalam pikiran kita bukan lagi sebuah roman, meski betapa pun hebatnya, tetap musti dianggap fiksi. Ternyata kertas kerja Sang Pemula memungkinkan itu semua. Pram tidak saja membongkar arsip-arsip lama. Ambil contoh, ia membacai setiap inci dari halaman demi halaman koran Medan Prijaji. Ia pelajari berita-beritanya. Ia pelajari kasus-kasusnya. Ia pelajari kondisi sosial, politik, ekonomi, serta budaya pada masa itu.
Kesemuanya tidak serta merta Pram pindahkan ke dalam naskah fiksi. Pram sekedar mengambil semangatnya. Sekedar semangatnya! Selebihnya ia campurkan dengan tetesan elemen ego yang, menurut Pram, berkembang dan berproses dengan sendirinya: mewujud menjadi benang merah cerita.
Investigasi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, Edisi Ketiga, tahun 2001, merupakan penyelidikan dengan mencatat atau merekam fakta, melakukan peninjauan, percobaan, dsb, dengan tujuan memperoleh jawaban atas pertanyaan (tt peristiwa, sifat atau khasiat suatu zat, dsb). Jelaslah di sini bahwa apa yang dibangun Pram dalam sebuah karya fiksi sekalipun, meski berangkat dari fakta sejarah, dilakukan lewat proses investigasi data yang ketat.
Dalam bab-bab selanjutnya dari tulisan ini, akan terjadi pembongkaran naskah meliputi Tetralogi secara keseluruhan, Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), Panggil Aku Kartini Saja (1962), Hoakaiu di Indonesia (1960), Cerita dari Digul (2001), Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (2001), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I & II (1995 & 1997), Cerita dari Blora (1952), Bukan Pasar Malam (1951), Larasati (2000), dll, yang kesemuanya dapatlah dikatakan berangkat dari kenyataan, baik sejarah maupun pribadi Pramoedya. Namun titik berat pembahasan tentu lebih berpihak pada fakta sejarah itu sendiri.
oleh :Oleh Daniel Mahendra
_____________________________________________
Sumber Pustaka:
0 komentar:
Posting Komentar